Konten blog
saya kali ini “disponsori” oleh buku yang berjudul “Tantangan dari Dalam” karya
Anett Keller. Secara keseluruhan, buku ini berisi tentang tantangan-tantangan yang
dihadapi dalam pers. Tantangan yang sebenarnya tentang bagaimana mempublikasi
sebuah opini, karena pemikiran orang lain tidak bisa dibatasi. Buku ini
bercerita tentang awal mula tantangan pers, yaitu masa pemerintahan Soeharto. Pada
masa itu ada yang dinamakan swa-sensor, istilah gampangnya kebebasan pers ada
di bawah tekanan pemerintah. Pemerintah menentukan apa yang boleh dan tidak
boleh diberitakan. Umumnya, pers waktu itu ingin mengkritik politik Soeharto. Tetapi
sebelum up di media tentu saja sudah
ditumpas habis. Tetapi, pers mengalami kebebasan setelah lengsernya Soeharto,
di mana saat itu juga lahir apa yang disebut otonomi jurnalistik. Yang juga
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan media massa terbebas di
Asia.
Setelah membaca
buku tersebut, aku mendapatkan suatu hal bahwa menyuarakan pendapat pada
khalayak tidak semerta-merta mudah dilakukan. Terlepas pada pemerintahan
siapapun. Sebenarnya, kebebasan berpendapat sendiri merupakan hak asasi yang
sifatnya demokratis. Media massa itu merupakan pembentuk sekaligus penyalur
opini-opini masyarakat. Walaupun redaksi/ media, pers, kini jauh lebih bebas,
tapi tetap saja Undang-undang diperlukan agar kebebasan itu menjadi bebas yang
bertanggungjawab.
Berkaca dari
keadaan masa lalu, pers dewasa ini sangat luas kebebasannya. Banyak oknum yang
seringnya tidak bertanggungjawab dalam mengutarakan pendapatnya. Seperti apa
yang dikenal sebagai netizen. Perpindahan
zaman tak jarang juga menjadikan orang tanpa aturan. Click bait sampai hate speech
dimaklumi dan dianggap bagian dari hak asasi sekarang ini. Sebagai kaum
milenial, saya ingin berkata bahwa harusnya kini kita menjadi manusia yang
cerdas. Zaman kita kini, belenggu pemerintah sudah tidak terlalu mengikat
seperti dahulu. Oleh karena itu, harapan pers sekarang adalah pers yang bebas
dan hormat.
Comments
Post a Comment